Pagi-pagi dinding Facebook saya menayangkan tulisan pendek Bapak Adriano Rusfi yang di-share teman saya. Waktu saya akses, tulisan itu sudah dibagi lebih dari 600 kali. Tulisan itu singkat memikat, dan... menggelitik jemari saya untuk menulis sesuatu.
Bukan, saya bukan seorang ahli "Ilmu Parenting", kalau memang bisa dikatakan ada yang disebut "Ilmu Parenting". Kalau dibolehkan narsis, paling banter saya hanya bisa mengatakan saya seorang "newbie reader" di kalangan komunitas penyuka artikel-artikel pendidikan, khususnya pendidikan anak usia dini. Dalam tulisan pendek itu Pak Adriano mengingatkan agar sebagai orang tua, kita hendaknya tidak "menjadi begitu akademis dan teoritis [sic] dalam mendidik buah hati."
Rada gelisah juga, sebagai ayah yang masih mengasuh anak pra-aqil-balig, saya termasuk suka membaca tulisan-tulisan akademis dan berusaha menerapkannya dalam peran keseharian itu. Kesukaan itu terutama terdorong sejak saya diperkenalkan dengan model pembelajaran sekolah Metode Sentra, yang menekankan peran guru sebagai secondary parents, bukan sekadar pengajar pengetahuan-pengetahuan atau pelajaran-pelajaran akademis.
Yang menarik dari tulisan Pak Adriano adalah pengingat akan risiko anjuran untuk menghindari kata "jangan" saat berbicara kepada anak. Efeknya bisa sampai pada tingkat "defisit nurani", yang antara lain membuat anak "sangat manipulatif" "piawai berbohong... "mirip politikus cilik". Mengerikan, ya?
Saya punya praduga (masih sangat sumir) kehebohan anjuran menghindari kata"jangan" itu didorong oleh kecenderungan penyederhanaan hasil-hasil kajian akademis yang memiliki basis teoretis yang mapan menjadi sekumpulan "tips parenting". Namanya "tips", tak terelakkan sifatnya menjadi instan dan kompak, tanpa menyertakan keluasan konteks yang semestinya. Seakan-akan "tips mudah" mengolah makanan, membetulkan mobil yang bermasalah, atau meghilangkan noda pakaian. Padahal, setiap anak memiliki sifat, potensi, lingkungan, kebutuhan dan jalan hidup yang unik. Dan, keunikan itu meniscayakan tidak ada orangtua yang bisa khatam belajar tentang mendidik anak.
Jika ditelusuri, anjuran "tips parenting" untuk menghindari kata "jangan"itu antara lain bersumber dari hasil penelitian Dr. Elliot Lise, seorang neurosaintis, yang meneliti reaksi otak bayi terhadap stimulus yang muncul di sekitarnya. Dalam satu eksperimennya, Lise meneliti buah hatinya yang masih bayi dengan alat-alat sensor yang ditempelkan di kepala dan dihubungkan ke monitor.
Di tengah eksperimen itu tiba-tiba terjadi sesuatu, gerakan bayi mengganggu kabel-kabel alat sensor. Dengan refleks, keluar teriakannya, "No." Apa yang terjadi? Layar monitor menunjukkan indikator kehidupan sejumlah sel otak berubah warna, meredup dan hitam padam .... sekian puluh, mungkin ratusan sel otak mati, tak tergantikan hanya dengan satu teriakan.
Informasi itu dan berbagai hasil-hasil penelitian lain neurosains yang sudah mapan kemudian diadaptasi kalangan pedagogis sebagai pengetahuan bahwa sel-sel otak manusia, yang jatahnya sekitar 100 miliar, tidak bertambah, memiliki sifat rentan pada stimulus. Selain itu, rentang periode 0 sampai 2 tahun adalah masa krusial pembangunan jaringan elektromagnetik antarsel atau synaps (saat lahir sel-sel otak manusia tidak tersambung).
Pada periode itu 80 persen jaringan selesai dibangun. Synaps muncul ketika ada stimulus yang direkam sebagai informasi, pengetahuan, pemahaman, atau konsep dasar. Artinya apa? Pada periode itulah instalasi basis cetak biru kepribadian manusia terbentuk. Kata, kalimat, bahasa yang diucapkan oleh ibunda, ayahanda, dan orang-orang di dekatnya terekam sebagai bagian dari sistem yang ter-install. Begitu juga pelukan, sentuhan, curahan kasih sayang.
Tak terkecuali juga, jika ada kata-kata tidak pantas, hardikan, luapan marah, jengkel, kesedihan, kegembiraan,.... apa saja, semua yang terpapar pada segenap alat indera ter-install. Jadi, bisa dibayangkan, jika seorang ibu sambil memandikan bayinya, ia aktif memberi penjelasan tentang air, tentang sabun, tentang jari tangan, tentang kulit, tentang kebersihan, maka betapa kayanya installment yang terjadi. Idealnya, dalam satu hari ada 15 ribu synaps yang terbentuk, sehingga installment otak menjadi optimal.
Entah dari mana asal-muasalnya, informasi yang disumbangkan dari hasil penelitian neurosains itu kemudian direduksi menjadi praktik penghindaran kata "jangan" dalam pengertian memberi kebebasan seliar-liarnya. Padahal, informasi itu seharunya adalah isyarat bahwa anak usia dini, terutama pada periode krusial itu, membutuhkan "cara" atau "perlakuan" yang tepat dan hati-hati. Karena itu, pedagogi juga membutuhkan psikologi, biologi, ilmu kesehatan, linguistik, ilmu sosial, dan tentu saja ilmu agama.
Mungkin jarang diperhatikan orang, bahwa banyak hal yang sudah bisa dan harus mulai diajarkan kepada anak sejak bayi. Dalam hal kedisiplinan, misalnya. Jika ibu menjalankan rutinitas mengasuh bayi secara teratur dan disiplin, seperti memandikan, menyusui, memberi makan, tidur dan bangun tidur, bermain, dan lain-lain, maka itu memiliki efek permanen pada kualitas kedisiplinan anak di kemudian hari. Bahasa berbicara dalam kalimat-kalimat yang terstruktur adalah bagian elementer dari pembangunan kemampuan berpikir logis. Dan itu tadi, pelukan dan sentuhan kasih sayang memiliki peran besar dalam pembentukan karakter anak.
Nah, kembali ke soal kata "jangan", sebagaimana yang saya pelajari dari model pembelajaran Metode Sentra, pengertian yang lebih pas sebetulnya adalah memberi kesempatan anak untuk memahami logika hubungan sebab-akibat dalam berdisiplin. Sebab, ketika diputus sampai dengan kata "jangan", kesempatan itu menjadi hilang dan anak akan terbiasa mengandalkan larangan untuk tidak melakukan hal-hal negatif yang merugikan diri maupun orang lain. Ia tidak melakukan sesuatu bukan karena kesadaran dan kemampuan berpikir logisnya, tapi karena takut. Ia bersikap disiplin bukan karena menyadari manfaatnya, melainkan karena takut orang lain, takut dihukum, takut dilihat dan lain-lain. Karena itu, ketika merasa yang ditakutkan tidak ada atau tidak terlihat, seperti pejabat yang korupsi, maka ia pun menjadi liar.
Dalam model pembelajaran dengan Metode Sentra ada satu jargon yang dikenal dengan larangan 3-M bagi guru. Yakni, tidak boleh melarang, menyuruh, dan marah kepada anak. Namun, jargon ini tidak boleh disalahpahami. Metode Sentra bekerja dengan prosedur yang ketat. Prosedur itu disampaikan sejak awal kepada anak dan disepakati bersama. Itu prinsipnya. Namun, dalam prosedur yang ketat itu anak mendapat kesempatan berlimpah untuk memahami arti kedisiplinan. Hal itu membutuhkan keterampilan dan pengetahuan guru dalam berbicara (bahasa), tahap perkembangan (psikologi), dan tahapan-tahapan intervensi yang dikenal dengan istilah "lima kontinuum.
Sekadar ilustrasi, sering ada peserta pelatihan Metode Sentra di Sekolah Batutis Al-Ilmi, Pekayon Bekasi, yang "gemes" melihat seakan-akan guru "membiarkan" anak tidak disiplin. Misalnya, seorang anak membuka keran air untuk cuci tangan dan tidak menutupnya. Guru yang melihatnya tidak langsung menutup keran, tapi mengingatkan anak, dengan bahasa datar, "Ibu melihat ada keran air yang belum ditutup kembali." Tak lama kemudian, anak yang merasa memakai keran itu kembali dan menutup kerannya.
Ilustrasi lain, seorang anak TK-B yang tempramental suatu hari meluapkan kemarahan dengan merubuh-rubuhkan meja belajar. Guru berkata, "Yang belum siap untuk menjaga barang-barang sekolah, silakan berdiam di kursi tenang." Itu artinya, anak tersebut tidak berkesempatan untuk mengikuti sesi-sesi bermain di sentra di hari itu. Karena merasa telah ikut menyepakati konsekuensi tersebut, anak itu pun duduk. Yang mengesankan, di hari lain, ada temannya yang menerima konsekuensi serupa, dan dia berkata dengan self-confidence yang mengagumkan kepada temannya."Tidak apa-apa, ya, aku juga pernah begitu."
Jadi, rasa-rasanya saya belum punya alasan untuk mengadaptasi apa yang suka dikatakan orang sebagai "tips parenting". Saya juga tidak tahu apakah ada yang namanya "Ilmu Parenting". Yang saya tahu, saya harus banyak belajar tentang kehidupan dari bermacam-macam ilmu, berbagai tulisan, belajar kepada banyak guru, dan berusaha menerapkannya untuk anak-anak saya, serta memohon ampun dan petunjuk kepada Allah swt. Kalau hanya menuruti intuisi, naluri, kira-kira dan kayaknya, saya takut. wallahu a'lam