Pendidikan Dasar berarti membangun otot-otot dasar kehidupan, bukan sekadar terampil menjawab soal-soal ujian, apalagi memburu angka-angka.

Thursday 1 June 2017

Pancasila Itu Landasan Berpikir Bangsa

Kau ingin tahu apa yang kupikirkan tentang Pancasila?
Baiklah. Pancasila adalah hasil ikhtiar sebuah bangsa yang mendiami bumi Nusantara. Bukan di Amerika, Eropa, Jazirah Arabia, atau yang lainnya. Ikhtiar untuk memahmi dirinya, memahami alam sekelilingnya, memahami sejarahnya, memahami warna-warninya, memahami kehidupannya... memahami martabat dan cita-citanya. Dan, hari itu, tanggal 1 Juni 1945, tercetuslah Pancasila.
Benar, Pancasila bukan kitab suci. Tapi, Pancasila dirumuskan oleh para pendiri bangsa yang sudah belajar kitab-kitab suci. Engkau merasa lebih mengerti kitab suci dari para pendahulu kita? Engkau hendak menyalahkan mereka yang menyusun falsafah bernegara? Jika tidak demikian, berarti sikap kita sama.
Jangan pura-pura lupa, bahwa hari-hari ini Pancasila sedang dicoba-lupakan atas nama persekutuan nafsu-nafsu politik sementara. Sebagian anak-anak bangsa diseru untuk menghapus warna-warninya sendiri. Mereka menjadi telengas merendahkan sesamanya. Mereka berilusi tentang kesendirian yang perkasa. Mereka menyayat dan melukai dengan senjata yang dibawa tentah dari mana.
Nafsu itu begitu merajalela, membuat benci dan fitnah menjadi ringan bertebaran. Nafsu itu begitu gelap pekat, menutupi kewaspadaan pada korupsi sebagai musuh besar bersama. Nafsu itu begitu samar, menyelinap di setiap celah kehidupan bangsa, di kantor-kantor pemerintah, di pasar-pasar, di terminal-terminal, di laut, di darat, dan di udara.
Bahkan, di sekolah-sekolah, nafsu membuai anak-anak dalam arena balapan bersikut-sikutan sejak belia. Nafsu membuat mereka tidak suka membaca, walaupun rajin sekolah.
Begitulah yang aku pikirkan dalam gundah gulana. Kalau engkau tidak setuju, aku bisa apa?


Share:

Monday 29 May 2017

Krisis Besar Pendidikan: Usia Dini dan Sekolah Dasar

Kebencian, permusuhan, kekerasan ekstrem, dan matinya empati yang marak belakangan ini sebagian adalah hasil dari pola asuh dan pola didik yang tak mengindahkan krusialnya periode paling awal kehidupan (usia dini).
Kasih sayang, sikap hormat, jujur, tanggungjawab, disiplin, daya juang, sabar.... semua itu bukan sesuatu yang bisa diciptakan dengan pengajaran ala tekan tombol atau voice dialing pada telepon pintar. Semua itu hasil proses panjang pembentukan dan pembangunan.
Silakan Bapak Presiden Joko Widodo membiarkan birokrasi pendidikan terus bermain-main, dan tak mau melihat krisis besar pendidikan, terutama pada jenjang anak usia dini dan sekolah dasar.
Di tingkat bawah, birokrasi pemerintahan masih bergembira-ria menjadi bagian dari krisis besar itu. Mungkin tidak benar-benar bergembira-ria, karena jangan-jangan benar bahwa mereka memang "tidak ada dana operasional" untuk menjalankan tugas yang sudah diamanahkan.
Manapun yang benar di antara dua kemungkinan itu, artinya birokrasi tidak mungkin diharapkan mengatasi krisis. Mereka belum selesai dengan dirinya sendiri.
Tidak apa-apa. Di tingkat bawah cukup banyak inovator dan pejuang pendidikan yang peduli untuk melawan krisis. Dan saya cukup senang menjadi penggembiranya. Lupakan birokrasi. Abadikan karya-karya mereka dengan tulisan, sebagai bentuk kepedulian pada
Pendidikan Anak Usia Dini.
Share:

Sunday 17 April 2016

Kegelisahan tak Bertepi

Tekun belajar, giat bekerja, produktif beramal, jujur berbisnis, berhati-hati memikul amanah, istiqamah dalam berpolitik, dan banyak hal lain yang serupa itu, adalah ukuran seberapa sungguh-sungguh seseorang beragama. Namun, ukuran itu hanya untuk mengukur diri sendiri, bukan untuk mengukur orang lain.
Bersungguh-sungguh dalam beragama berarti kegelisahan tak bertepi akan seberapa banyak pedoman-pedomannnya membantu diri sendiri mencapai kualitas-kualitas itu.Semakin sedikit berarti semakin ingkar. Semakin sedikit dampak ritual agama pada kualitas-kualitas itu berarti semakin sedikit manfaat diri, semakin berkurang kegelisahan, yang berarti semakin rendah nilai beragamanya.
Agama bukan jalan pintas, melainkan jalan panjang yang penuh tantangan sampai akhir hayat.
Ada kegelisahan tak bertepi, dan hanya pertolongan-Nya yang menentramkan hati. Bukan hasil, bukan prestasi, bukan ilmu, bukan karya, bukan harta, bukan kedudukan, bukan jabatan yang menentramkan hati, karena semua itu hanyalah bagian dari jalan yang panjang menuju cita-cita pamungkas di titik kematian.
Kegelisahan menggerakkan akal budi, jiwa dan raga untuk memungut setiap kesempatan memperbaiki diri dan berbuat kebaikan. Kegelisahan menghidupkan kewaspadaan atas waktu dan kekurangan diri. Kegelisahan membuat mata hati terus terjaga dari ancaman dan perangkap rasa berpuas diri.
Rasa berpuas diri itu begitu dekat dengan nafsu jalan pintas. Rasa berpuas diri menghadang ikhtiar jalan panjang yang seharusnya, yang berarti membuat seseorang sedang berhenti beragama.
Share:

Wednesday 30 March 2016

Mengajak Diri Menjadi Bermanfaat

Belajar sepanjang hayat, termasuk belajar fiqh, adalah kebutuhan. Itu bagian dari ikhtiar men-syari'at-kan langkah dan laku menuju kesempurnaan misi kehidupan. Sudah beratus-ratus tahun keragaman fiqh diperbincangkan, diperbandingkan, diperdebatkan... dan tidak ada satu kesepakatan tunggal. Jadi, tak perlu mendambakan keajaiban akan datangnya satu baju untuk semua.
Akan menjadi indah bila fiqh yang telah dipelajari diambil sebagai pilihan personal untuk diamalkan dengan penuh keyakinan. Tapi, tak ada guna menyertainya dengan rasa puas diri dan hawa jumawa kesempurnaan. Lalu memandang yang lain tidak kebagian kebaikan.
Bila rasa ketidak-sempurnaan masih berdenyut, itu pertanda ruh belajar masih hidup. Dan, dengan itu orang tidak akan pernah sempat mengukur, membandingkan, apalagi menilai kesalehan orang lain. Saling mengajak, saling menasihati, saling mendukung... semua akan berjalan syahdu karena setiap orang lebih disibukkan oleh rasa ketidakpastian diri di hadapan Sang Pencipta, Pemutus Segala Perkara.
Orang yang sudah bisa menjalankan shalat tidak akan membandingkan shalatnya dengan shalat orang lain, bahkan dengan orang yang belum sanggup menjalankan shalat. Orang yang sudah sanggup berpuasa tidak memandang rendah puasa orang lain, juga tidak merasa perlu memandang rendah orang yang belum sanggup menjalankan puasa. Orang yang mengenakan hijab tidak puya waktu untuk menghina orang yang tidak berhijab. Orang yang sudah belajar 100  kitab fiqh merasa belum ada apa-apanya, apalagi seperti saya yang baru belajar dari buku terjemahan.
Dalam menjalankan peran-peran kehidupan, yang diharapkan bukanlah akumulasi ritual ibadah, melainkan buah ibadah dalam wujud manfaat bagi diri dan orang lain. Manfaat adalah nilai kesalehan yang sesungguhnya. Semua ritual ibadah adalah sarana komunikasi-dialog intim dengan Sang Pencipta dalam rangka mengasah dan membangun kualitas diri untuk menjadi bermanfaat, dan itulah budi pekerti yang luhur (akhlaqul karimah).
Karena itu, ritual ibadah hanya untuk disimpan rapat dalam saluran komunikasi intim dengan Sang Pencipta, lalu tunjukkan pengabdian kepada-Nya dengan usaha menghadirkan manfaat. Hanya berusaha, karena apa yang sudah dilakukan pasti tidak pernah sebanding dengan yang seharusnya bisa dilakukan. Bukan siapa-siapa yang menghalangi, melainkan hawa nafsu dalam diri. Allah-al Musta'aan.
Share:

Wednesday 16 March 2016

Kontroversi Kata "Jangan" dalam Diskusi Parenting

Pagi-pagi dinding Facebook saya menayangkan tulisan pendek Bapak Adriano Rusfi yang di-share teman saya. Waktu saya akses, tulisan itu sudah dibagi lebih dari 600 kali. Tulisan itu singkat memikat, dan... menggelitik jemari saya untuk menulis sesuatu.
Bukan, saya bukan seorang ahli "Ilmu Parenting", kalau memang bisa dikatakan ada yang disebut "Ilmu Parenting". Kalau dibolehkan narsis, paling banter saya hanya bisa mengatakan saya seorang "newbie reader" di kalangan komunitas penyuka artikel-artikel pendidikan, khususnya pendidikan anak usia dini. Dalam tulisan pendek itu Pak Adriano mengingatkan agar sebagai orang tua, kita hendaknya tidak "menjadi begitu akademis dan teoritis [sic] dalam mendidik buah hati."
Rada gelisah juga, sebagai ayah yang masih mengasuh anak pra-aqil-balig, saya termasuk suka membaca tulisan-tulisan akademis dan berusaha menerapkannya dalam peran keseharian itu. Kesukaan itu terutama terdorong sejak saya diperkenalkan dengan model pembelajaran sekolah Metode Sentra, yang menekankan peran guru sebagai secondary parents, bukan sekadar pengajar pengetahuan-pengetahuan atau pelajaran-pelajaran akademis.
Yang menarik dari tulisan Pak Adriano adalah pengingat akan risiko anjuran untuk menghindari kata "jangan" saat berbicara kepada anak. Efeknya bisa sampai pada tingkat "defisit nurani", yang antara lain membuat anak "sangat manipulatif" "piawai berbohong... "mirip politikus cilik". Mengerikan, ya?
Saya punya praduga (masih sangat sumir) kehebohan anjuran menghindari kata"jangan" itu didorong oleh kecenderungan penyederhanaan hasil-hasil kajian akademis yang memiliki basis teoretis yang mapan menjadi sekumpulan "tips parenting". Namanya "tips", tak terelakkan sifatnya menjadi instan dan kompak, tanpa menyertakan keluasan konteks yang semestinya. Seakan-akan "tips mudah" mengolah makanan, membetulkan mobil yang bermasalah, atau meghilangkan noda pakaian. Padahal, setiap anak memiliki sifat, potensi, lingkungan, kebutuhan dan jalan hidup yang unik. Dan, keunikan itu meniscayakan tidak ada orangtua yang bisa khatam belajar tentang mendidik anak.
Jika ditelusuri, anjuran "tips parenting" untuk menghindari kata "jangan"itu antara lain bersumber dari hasil penelitian Dr. Elliot Lise, seorang neurosaintis, yang meneliti reaksi otak bayi terhadap stimulus yang muncul di sekitarnya. Dalam satu eksperimennya, Lise meneliti buah hatinya yang masih bayi dengan alat-alat sensor yang ditempelkan di kepala dan dihubungkan ke monitor.
Di tengah eksperimen itu tiba-tiba terjadi sesuatu, gerakan bayi mengganggu kabel-kabel alat sensor. Dengan refleks, keluar teriakannya, "No." Apa yang terjadi? Layar monitor menunjukkan indikator kehidupan sejumlah sel otak berubah warna, meredup dan hitam padam .... sekian puluh, mungkin ratusan sel otak mati, tak tergantikan hanya dengan satu teriakan.
Informasi itu dan berbagai hasil-hasil penelitian lain neurosains yang sudah mapan kemudian diadaptasi kalangan pedagogis sebagai pengetahuan bahwa sel-sel otak manusia, yang jatahnya sekitar 100 miliar, tidak bertambah, memiliki sifat rentan pada stimulus. Selain itu, rentang periode 0 sampai 2 tahun adalah masa krusial pembangunan jaringan elektromagnetik antarsel atau synaps (saat lahir sel-sel otak manusia tidak tersambung).
Pada periode itu 80 persen jaringan selesai dibangun. Synaps muncul ketika ada stimulus yang direkam sebagai informasi, pengetahuan, pemahaman, atau konsep dasar. Artinya apa? Pada periode itulah instalasi basis cetak biru kepribadian manusia terbentuk. Kata, kalimat, bahasa yang diucapkan oleh ibunda, ayahanda, dan orang-orang di dekatnya terekam sebagai bagian dari sistem yang ter-install. Begitu juga pelukan, sentuhan, curahan kasih sayang.
Tak terkecuali juga, jika ada kata-kata tidak pantas, hardikan, luapan marah, jengkel, kesedihan, kegembiraan,.... apa saja, semua yang terpapar pada segenap alat indera ter-install. Jadi, bisa dibayangkan, jika seorang ibu sambil memandikan bayinya, ia aktif memberi penjelasan tentang air, tentang sabun, tentang jari tangan, tentang kulit, tentang kebersihan, maka betapa kayanya installment yang terjadi. Idealnya, dalam satu hari ada 15 ribu synaps yang terbentuk, sehingga installment otak menjadi optimal.
Entah dari mana asal-muasalnya, informasi yang disumbangkan dari hasil penelitian neurosains itu kemudian direduksi menjadi praktik  penghindaran kata "jangan" dalam pengertian memberi kebebasan seliar-liarnya. Padahal, informasi itu seharunya adalah isyarat bahwa anak usia dini, terutama pada periode krusial itu, membutuhkan "cara" atau "perlakuan" yang tepat dan hati-hati. Karena itu, pedagogi juga membutuhkan psikologi, biologi, ilmu kesehatan, linguistik, ilmu sosial, dan tentu saja ilmu agama.
Mungkin jarang diperhatikan orang, bahwa banyak hal yang sudah bisa dan harus mulai diajarkan kepada anak sejak bayi. Dalam hal kedisiplinan, misalnya. Jika ibu menjalankan rutinitas mengasuh bayi secara teratur dan disiplin, seperti memandikan, menyusui, memberi makan, tidur dan bangun tidur, bermain, dan lain-lain, maka itu memiliki efek permanen pada kualitas kedisiplinan anak di kemudian hari. Bahasa berbicara dalam kalimat-kalimat yang terstruktur adalah bagian elementer dari pembangunan kemampuan berpikir logis. Dan itu tadi, pelukan dan sentuhan kasih sayang memiliki peran besar dalam pembentukan karakter anak.
Nah, kembali ke soal kata "jangan", sebagaimana yang saya pelajari dari model pembelajaran Metode Sentra, pengertian yang lebih pas sebetulnya adalah memberi kesempatan anak untuk memahami logika hubungan sebab-akibat dalam berdisiplin. Sebab, ketika diputus sampai dengan kata "jangan",  kesempatan itu menjadi hilang dan anak akan terbiasa mengandalkan larangan untuk tidak melakukan hal-hal negatif yang merugikan diri maupun orang lain. Ia tidak melakukan sesuatu bukan karena kesadaran dan kemampuan berpikir logisnya, tapi karena takut. Ia bersikap disiplin bukan karena menyadari manfaatnya, melainkan karena takut orang lain, takut dihukum, takut dilihat dan lain-lain. Karena itu, ketika merasa yang ditakutkan tidak ada atau tidak terlihat, seperti pejabat yang korupsi, maka ia pun menjadi liar.
Dalam model pembelajaran dengan Metode Sentra ada satu jargon yang dikenal dengan larangan 3-M bagi guru. Yakni, tidak boleh melarang, menyuruh, dan marah kepada anak. Namun, jargon ini tidak boleh disalahpahami. Metode Sentra bekerja dengan prosedur yang ketat. Prosedur itu disampaikan sejak awal kepada anak dan disepakati bersama. Itu prinsipnya. Namun, dalam prosedur yang ketat itu anak mendapat kesempatan berlimpah untuk memahami arti kedisiplinan. Hal itu membutuhkan keterampilan dan pengetahuan guru dalam berbicara (bahasa), tahap perkembangan (psikologi), dan tahapan-tahapan intervensi yang dikenal dengan istilah "lima kontinuum.
Sekadar ilustrasi, sering ada peserta pelatihan Metode Sentra di Sekolah Batutis Al-Ilmi, Pekayon Bekasi, yang "gemes" melihat seakan-akan guru "membiarkan" anak tidak disiplin. Misalnya, seorang anak membuka keran air untuk cuci tangan dan tidak menutupnya. Guru yang melihatnya tidak langsung menutup keran, tapi mengingatkan anak, dengan bahasa datar, "Ibu melihat ada keran air yang belum ditutup kembali." Tak lama kemudian, anak yang merasa memakai keran itu kembali dan menutup kerannya.
Ilustrasi lain, seorang anak TK-B yang tempramental suatu hari meluapkan kemarahan dengan merubuh-rubuhkan meja belajar. Guru berkata, "Yang belum siap untuk menjaga barang-barang sekolah, silakan berdiam di kursi tenang." Itu artinya, anak tersebut tidak berkesempatan untuk mengikuti sesi-sesi bermain di sentra di hari itu. Karena merasa telah ikut menyepakati konsekuensi tersebut, anak itu pun duduk. Yang mengesankan, di hari lain, ada temannya yang menerima konsekuensi serupa, dan dia berkata dengan self-confidence yang mengagumkan kepada temannya."Tidak apa-apa, ya, aku juga pernah begitu."
Jadi, rasa-rasanya saya belum punya alasan untuk mengadaptasi apa yang suka dikatakan orang sebagai "tips parenting". Saya juga tidak tahu apakah ada yang namanya "Ilmu Parenting". Yang saya tahu, saya harus banyak belajar tentang kehidupan dari bermacam-macam ilmu, berbagai tulisan, belajar kepada banyak guru, dan berusaha menerapkannya untuk anak-anak saya, serta memohon ampun dan petunjuk kepada Allah swt. Kalau hanya menuruti intuisi, naluri, kira-kira dan kayaknya, saya takut. wallahu a'lam
Share:

CARI ARTIKEL

Powered by Blogger.

Definition List

Contact

Pages